12.26.2009

Untukmu, Ibunda

Hari ini, memoriku terusik

Dunia bernyanyi dengan merdunya, memanggil-manggil namamu

Satu sosok yang sangat lekat dalam hidupku

Ialah engkau, Ibunda tercinta

Sembilan bulan lamanya kau kandung diriku

Dari diriku yang tak berbentuk, menggumpal, menjadi seonggok anak manusia

Tanpa berkeluh, kau bawa diriku dalam tiap langkah-langkahmu

Beban itu kau tanggung sendiri

Namun dengan berani, kau tetap mempertahankan diriku

Hingga tiba saatnya

Ketika Tuhan mengijinkanku melihat warna-warni dunia untuk pertama kalinya..

Itupun tak kau lalui dengan mudah

Segala kekuatanmu,

Perjuanganmu, semangat tak kenal lelahmu, nafas-nafasmu,

Melebur dengan setiap butir kasih sayangmu

Kau kerahkan hanya untuk diriku

Hanya untuk melahirkanku!

Padahal aku bukanlah harta yang begitu berharganya

Aku bukanlah emas perak yang dapat kau bangga-banggakan

Namun demi diriku

Kau bahkan rela mempertaruhkan nyawamu

Bunda,

Teringat ku kembali akan masa kecilku

Kau yang rela meninggalkan pekerjaanmu,

hanya karena ingin menyuapi makan malamku

Kau yang tak pernah mengeluh ataupun membentak

ketika tangisanku memecah tidur-tidur tenangmu

Kau yang tak segan membersihkan segala kotoran diriku

ketika aku tak mampu berbuat apa-apa selain menangis

Ibu,

Betapa cinta dan kasih sayangmu

Selalu terpancar indah dari dirimu, bagai melodi yang dimainkan dengan sempurna

Tak peduli, bahkan ketika aku terlupa untuk mencintaimu

Kasih sayangmu tetap kau pancarkan padaku

Kehangatanmu selalu tersedia untukku

Ketika aku merasa sendirian, kau yang selalu ada untukku

Kau yang selalu memelukku dan menghiburku

Saat tak ada yang lain yang mampu menghiburku

Ah, betapa aku malu padamu, Bunda..

Kasih sayangmu tak terukur luasnya

Bagai samudra yang dalamnya tak berujung

Sementara cinta kami, anak-anakmu

Tak ada apa-apanya dibanding milikmu

Kasih sayang kami layaknya butiran pasir di pantai

Begitu mudahnya hilang tertiup angin

Begitu banyak kesalahan kami padamu

Begitu berdosa kami padamu

Terlalu sering kami menyakiti dirimu

Namun senyumanmu tetap terpancar hangat untukku

Kami ingin berdoa untukmu

Kamu ungin memohon maaf padamu

Sudah terlalu banyak kesalahan kami padamu

Kami memohon akan pintu ampunan dari Tuhan

Karena kami masih percaya akan surga di bawah telapak kaki ibu

Karena kami masih ingin hidup bersama lebih lama denganmu

Ibu, Umi, Mama, Bunda,

Ketahuilah,

Engkau mutiara pelindung hidup kami

Engkau bunga terindah yang pernah kumiliki

Engkau bintang terterang yang selalu menyinariku

Keikhlasanmu, Ibu

Ketulusanmu, Umi

Kasih sayangmu, Mama,

Segala yang telah kau berikan pada kami, Bunda

Satu kata yang ingin kami ucapkan

Walau tak sebanding dengan apa yang telah kau lakukan,

Terima kasih, Bunda

Ada dan tiada

Dirimu akan selalu ada di hatiku

Namamu akan selalu terukir indah dalam ingatanku

Selamanya.

Amin.

dara.antares . 22122009

12.25.2009

surabaya pukul 4 sore

Rinai hujan menyambutku

Seakan menghibur, segala kepenatan dan kegelisahan hati

Kulangkahkan kaki menuju pintu gerbang

Dari jauh terlihat ia sudah menunggu

Kuperlebar langkah, segera menujunya

Pintu terbuka, menyilahkanku masuk

Tak lupa kusalami yang tersayang

Seraya barang-barangku kubanting perlahan

Merebahkan tubuhku, menyusul keluhan semu

Rinaii hujan masih menemaniku

Tergoda ku untuk melihat keluar dinding bening itu

Kupandang segala apa yang ada dihadapanku

Lalu sekelebat memoriku kembali ke masa lalu

Surabaya, sepuluh tahun lalu

Segalanya terlihat lebih sederhana

Duniaku masih kecil, tak kukenal satupun darimu

Namun aku mengenal, satu yang kukagumi

Dan kan terus kukagumi

Teringatku akan segala yang dulu kucinta

Hamparan sawah hijau membentang

Layaknya permadani di kota gersang

Liukan ombak kian merayu

Seakan ingin mengundangku bermain bersama

Kicauan-kicauan indah dari paruh mungil itu

Menghibur segala penat, kesenduanku

Surabaya, lima tahun yang terlewat

Tampaknya dunia makin sibuk dengan urusannya

Puluhan kendaraan menyusuri jalan

Jalanan yang dulu selalu kukunjungi

Terkenang ku dengan kehijauan dan keramahannya

Tanpa asap, tanpa kelam

Hanya hijau yang senantiasa menyejukkan

Sunyi, terdengar kicauan indah

Dan bunga-bunga cerah dengan genitnya mengajak menari

Surabaya, pukul 4 sore

Aku masih termenung

Pandanganku belum teralih dari balik dinding bening itu

Lalu kutangkap sekelebat bayangan

Sang sungai. Ternyata sang sungai memanggilku

Kututup perlahan mataku

Lalu kudengar segala jeritan itu

Begitu keras, hingga aku bertanya-tanya

Bagaimana mungkin aku tak pernah menyadarinya?

Hingar bingar kota tak dapat menutupinya

Segala jeritan itu, susah untuk kupalingkan diriku darinya

Sungai yang merintih, dengan segala kotorannya

Pohon yang menangis, dengan segala luka-lukanya

Bunga yang menjerit, dengan tangkai-tangkai patahnya

Surabaya, sore itu

Rinai hujan entah tampak tak mau meninggalkanku

Mungkin ia tak mau membiarkanku sendiri

Dan aku tersadar

Mengapa ia menemaniku

Rinai hujan itu ingin menyadarkanku.




dara.antares